Tahun 2014 bertepatan dengan tahun pemilu, tak terjadi
gejolak harga daging sapi. Tapi para pengusaha penggemukan (feedlot) babak belur karena harga sapi
hidup di pasar dunia naik, tapi harga di dalam negeri justru turun.
Jatuhnya harga sapi hidup dalam negeri pada 2014 disebabkan
oleh pembebasan kuota impor sapi bakalan dari Australia. Maka, pada kuartal
I-2014, masuk sapi impor dari Australia sebanyak 131.000 ekor. Ini belum
termasuk impor daging beku. Kuartal I-2015, Kementerian Perdagangan hanya
mengeluarkan izin impor sebanyak 100.000 ekor kepada 30 importir. Realisasi impor
hidup kuartal I-2015 baru 97.747 ekor. Berarti, jumlah sapi yang dipotong,
setelah digemukkan antara tiga sampai empat bulan, memang berkurang. Wajar
kalau pada kuartal II-2015, harga daging sapi merayap naik.
Upaya pemerintah untuk mengadakan operasi pasar, program
kawin suntik, dan kultur embrio, buka sesuatu yang buruk. Tetapi, itu ibarat
obat penghilang rasa sakit (analgesik) yang tidak akan menyembuhkan penyakit
sebenarnya. Indonesia saat ini kekurangan sekitar 1, 3 juta ekor induk. Dengan perkiraan
populasi sapi induk nasional 14 juta ekor, defisit sapi induk nasional
sebenarnya hanya 9,2 %. Yang 90,8 % merupakan induk sapi lokal yang dipelihara
oleh peternak kecil sebagai pembenih (breeder).
Di Jawa, Madura, Bali, dan Lampung, breeder
peternak kecil ini hanya memelihara induk dibawah lima ekor.
Hanya di Sumatera (selain lampung), NTB, NTT dan Sulawesi, breeder peternak kecil ini memelihara
lebih dari 10 ekor induk, tetapi jarang yang diatas 50 ekor induk per peternak.
Dengan kondisi seperti ini, agroindustri sapi pedaging Indonesia sangat rapuh. Terlebih
breeder sapi potong Jawa, Madura,
Bali dan Lampung, memelihara dengan sistem kandang, bukan dengan diumbar
(dilepas di lahan terbuka). Sistem kandang ini berbiaya sangat tinggi sebab
peternak harus rutin memberi pakan berupa hijauan maupun pakan tambahan. Wajar kalau harga sapi hidup di
Indonesia lebih tinggi dibanding harga sapi hidup di negara lain, apalagi dari
Australia.
Pasokan berkurang
Harga sapi hidup di Australia hanya Rp. 20.000,- per
kilogram (kg) bobot hidup. Di Indonesia, karena tak ada breeding farm profesional berskala besar, harga sapi hidup mencapai
Rp. 37.000,- per Kg. Belakangan, harga sapi hidup di pasar dunia juga naik
antara US$ 1 – US$2 akibat Brasil dan AS, yang selama ini merupakan pemasok
sapi bakalan dan sapi potong dunia, menahan stok mereka. Kenaikan harga sapi
bakalan ini juga disebabkan oleh karena kenaikan harga pakan, terutama dedak
gandum (pollard), dedak padi, jagung
dan ampas singkong (onggok). Kenaikan harga pakan di pasar dunia disebabkan
oleh gagal panen di banyak negara akibat musim yang kacau.
Penurunan sapi impor bakalan dari 131.000 ekor pada
kuartal I-2014 menjadi 100.000 ekor pada kuartal I-2015 pasti berdampak pada
kenaikan harga daging. Ditambah lagi dengan kenaikan kurs dollar AS
terhadap rupiah yang tahun ini tembus Rp. 13.000 per dollar AS. Ini semua pasti
menyebabkan kenaikan harga pakan, sapi bakalan, dan selanjutnya harga daging. Ini
merupakan hal yang wajar dan tak perlu merisaukan pemerintah. Tetapi, dalam
pemerintahan siapa pun, tentu ada kecenderungan dari aparat pemerintah untuk “mencari
muka” di depan presiden. Maka, berbagai laporan Asal Bapak Senang (ABS)
bermunculan. Agustus 2015 ini, muncul isu penimbunan daging.
Presiden Joko Widodo yang mendapat laporan dari bawahannya,
bahwa ada yang curang menimbun daging, segera membuat pernyataan bahwa
pemerintah menjamin akan menurunkan harga daging sampai ke tingkat Rp. 90.000
per kg, bahkan di bawahnya dan akan menindak para penimbun daging. Padahal,
kalaupun ada penimbun daging sapi, alasannya tentu bukan untuk mencari keuntungan
yang sebenarnya tak seberapa. Apalagi, menimbun daging dengan harapan
melepasnya pada harga tinggi sangat tidak rasional. Sebab, daging harus disimpan dalam keadaan beku, yang memerlukan
biaya pendinginan cukup tinggi. Lain halnya dengan komoditas beras, yang cukup
disimpan dalam gudang biasa.
Desember tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung
ke Balai Inseminasi buatan (IB) Malang, Jawa Timur menyatakan bahwa Indonesia
akan swasembada daging sapi pada 2017. Janji yang sama pernah disampaikan oleh
Syukur Irwantoro, Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian pada 2012. Syukur menyatakan
bahwa melalui program IB, Indonesia akan swasembada daging sapi pada 2014. Yang
terjadi, pada januari 2013, Lutfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), ditangkap KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat
kasus suap impor daging sapi.
Salah Informasi
Pada April 2014, saat masih menjabat Gubernur DKI, Joko
Widodo pernah menyatakan Indonesia tak perlu impor atau daging sapi. Waktu itu,
ia berkunjung ke NTT dan DKI berniat menjalin kerjasama dengan NTT guna
pemenuhan daging sapi. Sebagai gubernur maupun Presiden, tampaknya Joko Widodo
tak pernah mendapatkan masukan yang benar tentang kondisi agroindustri dan
perdagangan sapi potong di Indonesia. Selama para pembantu Presiden tak
pernah memberikan laporan yang jujur, kebijakan pemerintah dalam bidang apa pun
akan salah. Termasuk dalam kasus naiknya harga daging belakangan ini.
Satu-satunyacara untuk mengatasi permasalahan tingginya
harga daging sapi nasional, Indonesia harus surplus sapi potong dengan pengembangan breeder modern. Breeder
peternak kecil sebenarnya merupakan “perbudakan modern” karena meskipun harga
daging sapi Indonesia tergolong tertinggi di dunia, sebenarnya peternak kecil
sebagai breeder masih merugi. Peternak
akan untung apabila mereka hanya menggemukkan, sementara breeding farm dikerjakan oleh pengusaha besar secara massal. Indonesia
punya peluang dengan menggabungkan agroindustri kelapa sawit dengan breeding
farm sapi potong.
Upaya ini sudah
mulai dirintis sejak 2011 oleh PT
Medco Agro dan PT Kadila Jawa di
Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Ujicoba breeding farm sapi potong di lahan sawit
ini dimulai dengan 298 ekor induk Brahman
Cross, yang dilepas di kebun sawit. Langkah Medco dan Kadila ini diikuti
oleh PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk
(SSMS), tetangga Medco di Kotawaringin Barat. Melalui PT Sulung Ranch, pada
2014, SSMS mendatangkan 1.000 ekor induk sapi dari Australia untuk dilepas di
kebun sawit. PT Astra Agro Lestari
dan Great Giant Livestock juga
tertarik untuk mengembangkan sapi sawit. Ini langkah yang harus menjadi
prioritas pemerintah, bukan malah mencari-cari “kambing hitam”.
-F. Rahadi/ Tabloid Kontan 17 Agustus- 23 Agustus 2015-
baca juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar